Saturday, January 24, 2009

Akhir-akhir ini kita mungkin sering melihat beberapa tayangan berita di media elektronik yang menayangkan aksi mahasiswa atau elemen masyarakat lainya yang gencar melakukan aksi penolakan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang baru disahkan DPR-RI bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Desember lalu. Apa sebetulnya yang menyebabkan begitu banyak pihak yang menolak UU yang sudah dirancang semenjak 4 tahun yang lalu itu? Padahal sesuai konsideran "mengingat" nomor satu pada UU BHP, yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, maka bisa kita lihat UU BHP diajukan oleh Presiden dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan langsung disambut baik oleh DPR-RI.


Lalu benarkah dugaan pihak-pihak yang menentang disyahkanya UU BHP bahwa UU BHP merupakan undang-undang yang melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah atas pembiayaan pendidikan dan pembukaan jalan bagi para investor asing untuk berinvestasi di sektor pendidikan. Mengingat juga bahwa BHP adalah salah satu kepanjangan dari beberapa kebijakan pemerintah lainya yang diindikasikan memberi celah pada priatisasi dan komersialisasi pendidikan. Terlebih jika dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah No. 60-61 tentang Perguruan Tinggi dan Badan Hukum Milik Negara.



Singkat kata ada indikasi bahwa pemerintah telah lama berupaya untuk melepas tanggung jawabnya atas pembiayaan pendidikan. Terlebih jika kita melihat butir-butir Letter of intent (LOI) International Monitery Fund (IMF) dan dalam General Agreement on Trades Servis (GATS) yang dikeluarkan World Trade Organization (WTO) dimana Pemerintah Indonesia ikut menandatangani kesepakatan yang diantaranya berisi pencabutan subsidi publik seperti sektor kesehatan dan pendidikan. Indikasi ini semakin menguat ketika Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang salah satunya berisi, "Pendidikan merupakan salah satu sektor wilayah jasa yang bisa diinvestasi.


Salah satu pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, DR. Cecep Darmawan M.Si mengatakan bahwa apapun alasanya pemerintah tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya di sektor pendidikan, terlebih dalam pembiayaanya. Lanjutnya pemerintah sudah salah urus jika pendidikan yang merupakan ranah publik diprivatisasi. Jelas-jelas ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945 tentang kewajiban negara (dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara negara) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


Cecep Darmawan menambahkan bahwa pendidikan yang berkualitas pastinya mahal, namum bukan berarti jika pemerintah tak sanggup lalu melepas tanggung jawabnya akan penyelenggaraan pendidikan khususnya bagi kaum marjinal. Masih banyak cara lain agar rakyat Indonesia yang masuk kedalam golongan marjinal masih bisa menikmati pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang murah atau tanpa dipungut biaya sama sekali. Misalnya dengan cara memberlakukan pajak khusus pendidikan bagi perusahaan-perusahaan besar atau memberlakukan uang spp yang variatif bagi para peserta didik. "Kita lihat pelaksanaanya di UI, walaupun masih banyak hal yang harus dibenahi lagi tapi saya cukup salut dengan kebijakan SPP yang mereka berlakukan. Mahasiswa yang tergolong mampu dikenakan biaya kuliah yang sangat mahal, akan tetapi mahasiswa lain yang pendapatan orang tuanya tidak begitu tinggi atau bahkan minin dikenakan biaya kuliah yang murah atau bahkan tidak dipungut biaya kuliah.


Berbeda dengan DR. Cecep Darmawan M.Si, Dewi Amalia Eka Putri yang merupakan seorang aktivis pendidikan dan salah satu pimpinan di Front Mahasiswa Nasional tidak sepakat dengan pendapat Cecep Darmawan. "Pendidikan merupakan hak seluruh Rakyat Indonesia, baik yang kaya, miskin atau penyandang cacat sekalipun dan pemerintah wajib untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan membiayainya.".


"Permasalahan kita hari ini adalah pemerintah yang melepas tanggung jawabnya atas pendidikan lalu memberikan jalan bagi para investor asing untuk berinvestasi didalamnya." Lanjutnya.


Menurut Dewi akar permasalahan semua ini adalah krisis global yang berasal dari negara induk imperialisme yaitu Amerika Serikat (AS). Krisis global ini dipicu oleh krisis over produksi khususnya peralatan militer, otomotif dan barang-barang bertehnologi tinggi yang tidak mampu diserap pasar. Krisis over produksi inilah yang menyebabkan krisis-krisis lain seperti keuangan dan perbankan. Lalu sebenarnya apa hubungan krisis tersebut dengan pendidikan di Indonesia?


Bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis akumulasi kapital yang tersentral harus diputarkan kembali agar dapat mendapatkan keuntungan super lainya. Sehingga apabila kapitalnya (modal) tidak berputar maka artinya tidak ada keuntungan super bagi mereka, sehingga kapital yang mereka miliki tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak menghasilkan apa-apa.


Subsidi yang diberikan negara(dahulu) pada sektor publik jelas menghambat proses berputarnya kapital. Kapital tidak dapat ditanamkan di sektor publik tersebut karena disubsidi dan menjadi tanggung jawab negara. Sementara itu sektor yang bisa ditanami modal (investasi) sudah semakin habis karena sudah terdapat investasi di sektor-sektor tersebut. Maka darisinilah munculnya ide untuk meliberasi sektor-sektor publik. Bukan untuk membuat pelayanan lebih baik namun lebih karena kebutuhan adanya investasi baru untuk berputarnya kapital. Itulah mengapa sektor-sektor publik seperti bidang transportasi, kesehatan, air, listrik, bbm, dan tentu saja pendidikan diliberalasikan.


Dalam dunia pendidikan UU BHP telah memberikan jalan mulus bagi para pemilik modal untuk melakukan investasi di bidang pendidikan dan menjadikanya ladang perahan untuk mendapatkan keuntungan besar. BHP bisa saja dikatakan nirlaba, tapi apakah investasi bersifat nirlaba? Tidak, karena investasi harus mendatangkan keuntungan karena itulah yang akan menarik minat para investor sehingga BHP yang bersifat nirlaba seperti diatur dalam UU BHP Pasal 4 ayat (1) adalah ilusi dan bohong besar.


Jaminan Peningkatan Kualitas Atau Peningkatan Biaya Pendidikan?

Sejauh ini konsep badan hukum pendidikan sudah diuji cobakan kepada 8 perguruan tinggi negeri yaitu UI, ITB, IPB, UGM, Undip, USU, Unair dan UPI Bandung dengan pemberlakuan status badan hukum milik negara (BHMN). Hasilnya kenaikan uang kuliah secara drastis terjadi dalam lima tahun terakhir ini di kampus-kampus tersebut. Biaya kuliah reguler di UI per tahun mencapai Rp. 5 hingga Rp. 25 juta. Di UGM para peserta didiknya dikenakan sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), baik jalur SPMB maupun non SPMB sebesar Rp. 20 juta. Sementara kampus-kampus lain baik negeri ataupun swasta juga telah menyiapkan diri dengan berbagai cara untuk menyambut berlakunya BHP, penyesuaian yang paling menonjol adalahsoal pendanaan, hasilnya terlihat dengan telah melambungnya biaya pendidikan terutama untuk pendidikan tinggi.


Lalu bagaimanakah penyesuaian peningkatan kualitas pendidikan? Peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan pun tidak pernah terjadi. Meskipun UGM membuka kelas internasional dan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga penelitian asing, mereka tetap berada pada urutan 77 dari 77 perguruan tinggi di kawasan Asia-Pasifik. Mutu pendidikan Indonesia pun brada pada urutan ke-12 dari seluruh negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk dibawah Vietnam, negara yang baru membangun dalan kurun waktu 20 tahun terakhir.


Dari hasil evaluasi pelaksanaan lima tahun BHMN yang diselenggarakan di kampus UI ternyata tidak ditemukan adanya peningkatan berarti terhadap kualitas sarana pendidikan seperti komputer, fasilitas internet, laboratorium dan fasilitas lainya. Mahasiswa tetap sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas tersebut.


Kerjasama riset dalam kerangka 'reseach university' ternyata juga tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja. Dari 100,8 juta angkatan kerja, lulusan sarjana dan diploma hanya sebesar 5,5%, sisanya berpendidikan SD (58,7%) dan SMP/SMU (36,5%). Dari total perguruan yang mencapai 40 juta jiwa, sebagian besar adalah angkatan kerja muda dan perempuan. Tiga dari sepuluh tenaga kerja berusia 13-24 tahun adalah penganggur atau 26,7 juta jiwa dari total pengangguran.


*


Aksi-aksi demontrasi yang dilakukan di berbagai kota untuk menuntut dibatalkanya dan dicabutnya UU BHP selalu dibalas oleh pemerintah dengan tindakan kekerasan yaitu dengan membubarkan massa aksi atau dengan tindakan-tindakan lain yang penuh dengan kekerasan. Aksi-aksi penolakan terhadap UU BHP tidaak pernah ditanggapi dan diperhatikan oleh pemerintah, mereka malah balik menuding bahwa aksi-aksi demontrasi tersebut ricuh dan anarkis. Tindakan-tindakan kekerasan yang telah dilakukan aparat kepolisian ini mencerminkan Indonesia belum mencerminkan negara dengan kehidupan yang demokratis.


Diakhir pertemuanya dengan penulis, Dewi Amalia menyatakan bahwa, "Sebagai bagian dari rakyat yang menginginkan terciptanya sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat, maka yang harus kita lakukan adalah: mengobarkan perjuangan massa menuntut hak-hak demokratik rakyat dan memperkuat dan membesarkan organisasi untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat."

(Ari Syahril Ramadhan

No comments: