Tuesday, February 24, 2009

BANDUNG SIAP KOBARKAN AKSI PENOLAKAN UU BHP


Bandung- Sekitar empat tahun yang lalu atas dasar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan rancangan Undang-Undang Hukum Pendidikan kepada DPR-RI. Setelah melewati beberapa proses di DPR, akhirnya pada tanggal 17 Desember 2008 silam, DPR-RI bersama Presiden SBY mengesahkan RUU tersebut menjadi UU BHP. Sebuah produk perundangan yang diharapkan dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.

Walaupun diklaim sebagai produk hukum yang kelak diharapkan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia, proses perjaanan UU BHP hingga disahkan 17 Desember 2008 silam tidaklah mulus. Beberapa elemen mahasiswa dan masyarakat bahkan sudah menyatakan sikap penolakan semenjak rancangan undang-undang ini digodok di DPR. Beberapa elemen mahasiswa menganggap bahwa secara yuridis, paradigmatis dan praktis UU BHP diindikasikan bermasalah. Secara yuridis UU BHP dinilai tidak sejalan dengan cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam pembukaan dan isi UUD 45 pasa 31 ayat 1 dan 2 tentang kewjiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kewajiban negara untuk menjamin hak setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan

“UU BHP mengandung ide-ide kapitaisme. Lahir dari rahim Letter of intent (LOI) International Monitery Fund (IMF) dan General Agreement on Trades Servis (GATS) yang dikeluarkan World Trade Organization (WTO) yang diantaranya berisi pencabutan subsidi publik seperti sektor kesehatan dan pendidikan. Indikasi ini semakin menguat ketika Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang salah satunya berisi ‘Pendidikan merupakan salah satu sektor wilayah jasa yang bisa diinvestasi’. Kemudian diratifikasi dengan peraturan pemerintah seperti PP No. 61 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah tentang pem-BHMN-an 7 kampus negeri di Indonesia.” Ujar Jafar Fahrurozi, koordinator FMPPI (Forum Mahasiswa Peduli Pendidikan Indonesia) yang ditemui BCD saat melakukan aksi penolakan BHP di Bandung, 22 Februari 2008.

FMPPI beranggapan bahwa UU BHP membuat pendidikan di Indonesia berpotensi menjadi ‘komuditas’ yang dapat ‘doperjual belikan’ di pasar bebas. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan tanpa syarat juga juga seolah direduksi. Dengan berbagai dalih pemerintah mengajak masyarakat untuk sama-sama membiayai pendidikan. Hal ini dianggap sebagai upaya pelepasan tanggungjawab negara dalam melayani rakyat di sektor pendidikan.

Hal ini misalnya tercermin dalam pasal 41 ayat 7 dan 8 UU BHP. Dalam ayat 7 disebutkan, “Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua atau pihak yang beranggung jawabmembiayainya.”. Kemudian dalam pasal 8 disebutkan, “Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7, yang ditanggung oleh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan Pemerinah (BHPP) atau Badan Hukum Pendidikan Daerah (BHPD), paling banyak sepertiga dari biaya operasional.”.

Secara praksis UU BHP memang belum dapat dipraktekan. Namun mahasiswa yang tergabung dalam FMPPI yakin bahwa UU BHP bukanlah kebijakan yang solutif dan produktif untuk mengatasi aneka persoalan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu FMPPI akan terus melakukan aksi penolakan UU BHP dan menekan DPR untuk mendorong pemerintah mencabut UU BHP.

“Secara massif kami akan terus melakukan aksi penolakan UU BHP hingga UU tersebut dicabut.” Ungkap Jafar diakhir pembicaraan. ***Bdg CD/Ari SR