Monday, April 23, 2007

SEBELUM AKU TERLELAP

sebatas senja

jejaku larut dalam keheningan malam

selepas fajar

bayangku kembali termakan rotasi mentari

kembali kita menuai duka

meratap diantara hamparan sawah dan ladang yang bukan lagi milik kita

lalu hendak kemana kita berjalan !?

bahkan kini trotoar dan taman- taman kota sudah menjadi bagian estetika kaum aristokrat

biarkan aku sejenak tertunduk

dibawah penaram lampu jalanan

dan jangan bangunkan aku

hingga negeri ini sudah merdeka

Ari Syahril Ramadhan

Bandung, 26 Januari 2006

Puisinisasi Cerpen:

Mahluk Manis Dalam Warnet

Disenja

kucumbu lembayung menjingga

menunggu malam seduh lamunan

sekedar asa bergelayut dalam kelam

kunanti bayanggmu layat relung hati

akankah nyata sapamu esok hari manis !?

Dibalik senyumu

sebatang rokok dan secangkir kopi temani buku kiri

ah, ada jalan rupanya . . .

Hi perempuan manis !

smoga cintamu cinta kelas

dan semoga kau bukan satu dari beribu fragmen

yang datang menari lalu pergi

semoga dan hanya semoga . . .

A. Syahril Ramadhan

Bandung, November 2004

Dirilis ulang 28 April 2007

Sekedar catatan :

Cerpen ‘Mahluk Manis dalam Warnet’ sebenarnya merupakan satu dari berjuta cerita pendek tragis yang tidak pernah selesai termanifestasi dalam sebuah bentuk cerita pendek yang utuh.

Selamat Tidur Sayang

Selamat malam peradaban

tak lelahkan engkau terus- menerus berdialektika dengan waktu

sudahlah

sudah saatnya tertidur manis atau sekedar memejamkan mata kini

hingga matahari meninggi esok pagi

atau hingga Izrail meniupkan not- not akhir kehidupan

selamat tidur peradaban

Cimahi, 17 April 2007

Tanya Kenapa

Kenapa hanya diam

jika mulut masih bisa berbisik

mengusik singgasana para penguasa

kenapa jemari hanya menjentik

jika masih mampu mengepal

layangkan kepal kiri tinggi ke udara

kenapa hanya bersembunyi

jika masih punya hati nurani

tunjukan muka geram pada anjing- anjing penindas

kenapa masih berlari menjauh

jika masih jadi lelaki

pamerkan keperkasaan pada kaum aristokrat

kenapa . . .

kenapa aku masih duduk disini

jika . . .

Cimahi, 16 April 2007

SEKEDAR SEBERKAS JEJAK

“Pada hamparan kering rerumputan yang rindukan hujan,

sungguh aku masih berdiri sekedar menyapa angin.”

Di awan ini pernah kurajut hari

mencoba berbagi dengan seisi bumi

menapaki sebagian jalanan kehidupan

yang semakin termarjinalkan waktu

nanti, nanti mungkin di suatu senja

ketika kita padamkan gelisah

ketika kabut tak lagi menjalar

ketika cahaya hati resahkan lampu- lampu di taman kota

ketika aku selesai merangkai kata

sehingga bisa kubawakan serangkaian jawaban

atas secangkir pertanyaan yang akan kau suguhkan kelak

A. Syahril Ramadhan

Bandung, 12 April 2007

MASIHKAH KAU MILIK KAMI

Ah jalanan

jalanan kini sudah penuh dengan jargon- jargon kaum aristokrat dan kapitalis

tak ada lagi representasi suara hati rakyat kami

hanya menjadi manifesto promosi komuditi dan agitasi busuk pemerintahan boneka imperialis

Ah jalanan

apakah sudah habis teriakan- teriakan anti imperialisme dan feodalisme disana

yang ada hanya teriakan busuk kaum hedonis

atau teriakan anjing- anjing pemerintah kota yang membubarkan saudara kami yang mencoba menggantungkan hidupnya padamu

hey jalanan

lalu mengapa kau diam saja

Ah anjing kau jalanan

kau hanya sudi bersenggama dengan kendaraan mewah saja sekarang

apakah kini najis bagimu ditapaki kami orang- orang sengsara

oh aku tahu kini

jangan- jangan sekarang kau melacur pada mereka

Satu hal yang perlu kau ingat jalanan

kau berdiri diatas keringat dan darah kami

dulu antara Anyer dan Panaruban

penderiataan kakek nenek kamilah yang membesarkan kalian

dan jangan juga kau lupa

kau ada karena hasil sawah dan ladang kami

jikalau pun kau dibangun atas investasi modal asing

kamilah juga yang harus membayarnya

Terakhir jalanan

buang seringai sinismu atas kami sekarang juga

atau akan kembali kukobarkan amarah rakyat

maka akan terbakarlah kau jalanan

Ari Syahril Ramadhan

Bandung, 26 Januari 2006

Balada Pengisi Malam

Malam ini aku tak akan melayat mimpimu

sebab tak satupun puisi indah hadir di layar monitor

hanya segumpal kata- kata indah tak bermakna

yang menyublim menjadi seribu cela para kritikus sastra kelak

Mungkin rasa ini sudah mati

mungkin asa ini sudah berakhir

mungkin jemari ini sudah enggan menari

mungkin ladang inspirasi sudah dirampas perkebunan negara

mungkin seisi kepala ini sudah menyenja

mungkin malaikat maut sudah beraksi sebelum fajar

atau mungkin aku sekedar kehabisan rokok

tapi yang pasti

gelap ini kau sudah tertidur manis

bersama malaikat- malaikat mipimu

Selamat menikmati malam perempuan- perempuanku

Cimahi, 16 April 2007

“Aku disini menunggu hujan goreskan duka diatas kanvas

berharap pada cakrawala yang tak kunjung jua jadi nyata”

Jikalau biola tak berdawai saja bisa meraut nada

kenapa aku tak sanggup merambah kata

menjadikanya seorang perempuan

yang kan melahirkan beribu- ribu frase cinta