Tuesday, June 20, 2006

salam tiga jari

Hari ini aku telanjang
melintas diatas pematang sawah
dengan semangat membara berlari menuju sungai tepian kecil yang jernih di sisi sawah
membasahi luka dan noda
membiarkanya hanyut terbawa air sunyi senyap
lalu kuganti dengan segayung opini yang kusireamkan diatas kepalaku
kubiarkan membasahi tubuhku
mari kita mandi opini kawan
sesaat memang terasa segar membasahi sukma

Esok hari aku berjalan di siang keramaian kota
melintas diatas pematang sawah
berpayung luka merahnya matahari
yang memaksa trotoar, rambu jalan, tong sampah di sudut tiang
menyapaku dengan penuh kegelisahan
lalu dimanakah sisa- sisa kesegaran opini- opini tadi
mengapa wangginya tak setia menemani
mengapa ia habis terbakar matahari
dan terusir debu jalanan

Mendekatlah noda dan luka
karna kau setia menemaniku dalam riang dan duka





Saturday, June 17, 2006

MATAHARI MERAH

Aku adalah matahari merah
yang memecah batu kebisuan
menanam benih umbi di ladang
menghisap cerutu
dan menenggak congkaknya awan jingga di cakrawala
maka, selamat datang pagi

Aku adalah matahari merah
kuhangatkan punggung- punggung ibu dan bapa tani
melantunkan irama ombak yang berderu
mencabik dawai gitar di ramainya terminal
bersendawa di kubah langit
maka, menarilah di panasnya siang

Aku adalah matahari merah
siluet romantis bagi para pujangga
mengharumlan lukaku yang merah
disepanjang etalase pertokoan
ditemani kematian para bidadari
tapi tak apalah,
mari kita nikmati senja dengan segelas lemon ice tea bercampur vodka

aku adalah matahari merah
tergilas rotasi bulan kini
terusir dari peradaban
eksodus menuju semak belukar kesunian
maka . . .
selamat datang Tuhan


Ari_Makar
03.50 am




Thursday, June 15, 2006

Kalau kau iba melihatku kawan
arahkan revorver 36 mm itu tepat di kepalaku
genggam dengan erat, lalu bisikan di telingaku 2 kalimat syahadat
dan dengan menyebut nama tuhan, tekanlah picu senjata itu tampa ragu
dorrr . . .
maka kau tlah bukakan pintu gerbang kebebasan bagiku

Tak perlu kau bertanya mengapa
benih padi yang tlah kutanam, dan umbi yang tlah siap dipanen diladang
tlah habis terbakar putaran roda zaman
bahkan dialektika Mark yang mantap kutancapkan di pintu gerbang ladang
tak mampu menghadang segerombolan pasukan berkuda imperialis itu
harapan pecah,
mau kuberi makan apa istri, anak dan cucu- cucuku kelak !?
Karena sepotong roti gandum Trotski kurasa tak mampu mengganjal perut- perut mereka yang digerogoti kucing

Tapi tunggu sebentar,
kali ini hatiku sedikit lega
siapa yang akan kuberi makan kelak !?
gadis kembang desa yang akan kukawini dan anak buatanku ?
gadis desa mana yang akan kukawini?
karena kalau tak salah, pasukan imperialis itu juga menyerang kampung kami
gadis muda, istri- istri orang, janda tua, bahkan anak gadis kecil tak luput mereka renggut kesucianya satu persatu . . .
tak ada yang tersisa, mereka semua disetubuhi dengan kasar
bahkan lebih kejam dari tentara jepang yang mengeksploitasi para geisha di zaman dulu
Tak ada yang bisa menolak, smua hanya berteriak dalam hati
akupun yang sempat menyaksikan perempuan- perempuan desaku yang diseret paksa tanpa sehelai kain menutupi indah lekuk tubuhnya tak bisa konak
karna bukan sensualitas yang kulihat hari itu kawan
yang terdengar hanya aroma luka dan derita

Cepatlah kawan
kurasa tak perlu kuceritakan lagi smua
kurasa sawah dan ladang yang hangus terbakar, rumah dan pagar yang rata dengan tanah, mayat- mayat yang bergeletakan di tanah dan mengeluarkan aroma pilu itu kan berteriak padamu
memberikan kisah bangsa yang terjajah
memberikan kisah bangsa yang habis dikuras harta kekayaanya
memberikan kisah bangsa yang diperkosa perempuan- perempuanya
bangsa yang dikebiri kaum prianya

Ambilah buku dan penamu, lalu dengan sucinya hatimu
goretkanlah syair pilu tragedi ini
ambilah kameramu
lalu degan imanmu rekamlah tanah yang bersimbah darah ini
sebarkanlah pada dunia







Malam semakin kelam dan semakin larut dalam keheningan
menghitamkan bayang dan aroma luka diriku dibawah sinar bulan
yang meninggalkan kerinduan di sukma

merampas segenggam bara api jiwa dan seberkas cahaya harapan


Thursday, June 01, 2006