Tuesday, May 16, 2006

KSATRIA BRJUBAH MERAH


Harapan telah rapi kugantung di kubah langit

sehingga galah pun tak sanggup menggapi bayangnya

aku yang pernah asyik bercumbu dengan merah

meradang dan rebah

menyaksikan para ksatria berjubah merah

berlumuran keringat dan darah

berdiri tegak mengibarkan panji- panji perjuangan

dihadapan beribu- ribu moncong senapan

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam,

hari demi hari hingga berabad- abad lamanya

aku masih duduk terpaku dihadapan sebuah televisi 21 inci

didalam sebuah ruang imajinasi

seperti mayat yang tak bernyawa

duduk terkaku menyaksikan jubah merah yang dipakai ksatria- ksatria itu

robek terkoyak timah- timah panas dan tikaman sangkur yang menempel di moncong laras- laras senapan

Jubah merah yang dulu pernah indah melapisi badanku

sehingga tampak gagah ketika ku berjalan dan berteriak teriak di jalanan

membuatku berani menghadapi satu divisi pasukan bersenjata yang melindungi istana- istana para penghisap keringat dan darah rakyat

hanya dengan sebuah pengeras suara tergenggam di tangan

Ksatria- ksatria pemberani berjubah merah

yang dulu senasib, sejiwa, seraga dan memerahkan darahku

Lagi- lagi ku hanya duduk terkaku

Ruang Sunyi, 16 Mei 2006

03:39 AM

Sawah Hatiku

Hamparan sawah yang terbentang dihatiku masih kering kerontang

sehinnga tak pantas kutuliskan menjadi sebuah puisi cinta untukmu

akan kutunggu angin berhembus mengumpulkan mendung lalu hujan turun

barulah akan kubajak sawah, dan kutanami bibit- bibit padi

sehingga akan kukirimkan syair indahnya hamparan hijau padi yang baru tumbuh

kan kubuat lagu cinta padamu indahnya hamparan padi yang mulai menguning layaknya hamparan emas di Buyat

dan akan kudatangi emak, bapakmu dengan sebuah mobil Honda Jazz berwarna pink hasil penjualan beras panen sawahku

Tapi itu nanti dindaku

setelah hujan turun di bulan September

karena hari ini aku masih malas tuk mengangkat pacul

dan membuat sebuah saluran irigasi dari sungai dan mengalirkanya ke petak- petak sawahku

sabarlah ya, bukankah itu yang selalu diajarkan utusan Tuhanmu itu

atau kalau kau mau cepat

berdoalah pada Tuhanmu itu

agar Pak Kades mau membuat saluran irigasi untuk sawah di hatiku

tapi kurasa tak mungkin, karena uang yang seharusnya dipakai membuat irigasi itu telah berubah menjadi sebuah motor Yamaha Mio untuk istrinya dan juga sebuah kamera digital Cannon Pro 1 untuk anaknya yang kuliah di Jurusan Jurnalistik FIKOM UNPAD

Jadi sekali lagi sabarlah menunggu wahai dindaku

sabarlah menunggu hingga akhirnya kukecup merah meronanya pipimu yang saat ini hanya bisa kulihat di friendstermu dari sebuah layar monitor sebuah computer di sebuah warnet di kawasan Bandung Utara

Sabarlah menunggu hingga kutuai hasil sawah hatiku nanti

Ari_Makar

Monday, May 15, 2006

Tuesday, May 09, 2006

Merahkan Darahku Kawan !

Bung, hari ni darahku sudah tak lagi merah
warnanya pudar terkikis senja di cakrawala
senja yang tampak indah
namum menghanyutkan jiwa proletariatku ke
kelamnya malam

merahkan darahku dengan lagu-lagu perjuangan
rakyat

Bung, hari ni darahku sudah tak lagi merah
trombositnya habis termakan ombak di lautan
lautan yang menenggelamkan habis keyakinan
dan kesadaran
merahnya hari depan perjuangan kita

merahkan darahku dengan kibaran panji panji
perjuangan kita
merahkan darahku dengan salad buku- buku kiri
merahkan darahku dengan sebatang rokok cap
palu arit
merahkan darahku dengan secangkir kopi hangat
propaganda
merahkan darahku dengan merahnya darahmu . . .

Ari_Makar
Merahkan darahku kawan